Hari ini, enam puluh dua tahun sudah kita merdeka
Bebas dari segala belenggu yang selalu menghantui ibuku
Setelah tiga ratus lima puluh tahun
Ibu pertiwi terkurung dalam bui penindasan
Menangis tersedu tersayat-sayat harga dirinya
Kepalaku menoleh ke kiri dan ke kanan, mataku memandang sejauh mata memandang
Ku saksikan kegembiraan bangsaku, seluruh bangsa Indonesia
Gapura-gapura berhias HUT ke-62, umbul-umbul yang terpasang di setiap teras rumah, dan bendera merah-putih menjulang tinggi kokoh menembus angkasa yang angkuh
Hingga tak dapat mataku melihat ruang kosong cerminan kesedihan kebebasan
Ku saksikan pula penguasa duduk di singgasana yang angkuh dan mewah
Para dayang dan abdi mengelilingi dan memuja sang raja sejagad
Gemerlap keriangan, jelas mengisi lubang-lubang kerapuhan
Dengan secangkir arak dan sepiring kue kemunafikan
Menambah sinar keangkuhan tiran
Tirai penindasan kini telah mengurung keadilan dalam negeriku
Negeri Uthopia kini telah berubah menjadi negeri yang tandus
Negeri yang tidak mengenal jati diri
Negeri yang tidak mengenal tujuan hidup
He. . . he. . . he. . .
Aku tertawa menggigit bibirku yang sakit
Perih menyaksikan kehidupan hari ini
Di tengah euforia keriangan masa lalu, hari kita merasakan kemenangan
Masih terdengar keras tangisan bayi merasakan haus dan lapar
Adik-adikku bernyanyi di jalan demi sebuah koin cepek-an
Ibu-ibuku memeras keringat untuk susu bayinya
Kakek-kakekku membanting tulang untuk sesuap kehidupan
Nenek-nenekku menambang rerumputan di pangkuan ibu pertiwi
Demi suatu masa depan yang tidak pasti
He. . . he. . . he. . .
Aku tertawa kembali, tertawa untuk kedua kalinya
Di hari yang keramat ini
Di hari yang suci ini
Di hari kita mengenang kebebasan abadi
Apakah kita harus menaikkan bendera tinggi menembus awan
Ataukah menaikkan bendera setengah tiang, menyaksikan ibu pertiwi yang sedang berduka
= = = = = = = = = = / / / / / = = = = = = = = = =
© ZchelenK ==> 25 Juli 2007
0 komentar:
Posting Komentar